Aspirasi Publik
Muratara — Di atas kertas, kinerja keuangan Pemerintah Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara) Tahun Anggaran 2023 terlihat cukup menggembirakan. Laporan realisasi pendapatan dan belanja daerah menunjukkan angka persentase di atas 90%. Namun, di balik persentase itu tersembunyi sejumlah anomali yang patut ditelusuri lebih dalam. Jum’at (30/8/2024).
Berdasarkan data resmi yang dihimpun redaksi dari dokumen Ikhtisar Realisasi Pencapaian Kinerja Keuangan Muratara Tahun 2023, terdapat indikasi kelemahan dalam pengelolaan data anggaran, khususnya pada sektor pendapatan maupun belanja, yang dapat membuka peluang terjadinya pemborosan hingga potensi kerugian negara.
Realisasi pendapatan daerah Muratara tahun 2023 tercatat sebesar Rp1,275 triliun, atau 94,30% dari target Rp1,353 triliun. Namun, dari total 45 Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), hanya 8 SKPD dan 8 Puskesmas yang secara aktif mengelola penerimaan. Artinya, lebih dari 75% SKPD pasif dalam menyumbang PAD (Pendapatan Asli Daerah).
Yang lebih mencengangkan, beberapa unit kerja justru mencatat realisasi pendapatan di atas 100%, seperti Dinas Komunikasi dan Informatika (109,94%), Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan (112,28%), bahkan Puskesmas Muara Kulam (104,69%) dan Puskesmas Nibung (103,93%).
Apakah capaian ini mencerminkan keberhasilan ataukah justru cerminan dari kesalahan estimasi perencanaan awal yang tidak akurat. Pertanyaan ini penting, mengingat over-target bisa saja merupakan strategi menutupi kelemahan manajemen fiskal di level perencanaan.
Dari total belanja daerah sebesar Rp1,503 triliun, realisasi tercatat sebesar Rp1,381 triliun atau 91,85%. Sekilas terlihat efisien. Namun, rincian antar dinas menunjukkan adanya ketimpangan serapan dan dugaan pemborosan anggaran. Contohnya:
- Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) hanya merealisasikan 64% dari anggaran Rp35,1 miliar.
- Dinas Sosial hanya menyerap 69,04% dari Rp14,3 miliar, padahal sektor ini langsung menyentuh masyarakat rentan.
Sebaliknya, Dinas PUPR berhasil menyerap hingga 98,33% dari total fantastis Rp535,9 miliar. Sektor yang sering disorot publik terkait proyek infrastruktur berbiaya besar.
Mengapa dinas yang mengelola urusan sosial dan strategis seperti BPKAD justru serapan rendah, sementara dinas teknis justru hampir “habis terbakar”. Pola lama kembali berulang anggaran digelontorkan besar untuk sektor yang rawan mark-up dan pengadaan fisik, sementara program sosial terabaikan.
Tingginya persentase realisasi belanja acapkali digunakan sebagai dalih keberhasilan. Padahal, efektivitas belanja publik seharusnya diukur dari manfaat dan capaian program, bukan sekadar penghabisan anggaran. Kondisi ini memunculkan dugaan bahwa:
- Ada praktik “kebut serapan akhir tahun” demi menghindari silpa (sisa anggaran).
- Potensi rekayasa kebutuhan dinas untuk menyerap anggaran besar dalam waktu singkat.
Minimnya monitoring kinerja SKPD, terutama pada lembaga dengan persentase serapan rendah seperti Disdukcapil, Dinas Perpustakaan, dan Dinas Pertanian. Dengan pola semacam ini, publik patut mempertanyakan:
- Apakah DPRD Muratara menjalankan fungsi anggaran dan pengawasan secara maksimal?
- Bagaimana peran Inspektorat dalam mengevaluasi kejanggalan belanja yang tidak sinkron dengan output pembangunan?
- Mengapa BPK tidak merekomendasikan early warning terhadap SKPD yang berkinerja anggaran buruk namun tetap mendapat alokasi besar?
Muratara boleh saja melaporkan realisasi anggaran yang “tinggi dan rapi”, tetapi publik berhak tahu ke mana uang rakyat sebesar Rp1,3 triliun lebih itu dibelanjakan dan apakah manfaatnya benar dirasakan oleh masyarakat.
Jika pemerintah daerah masih berpatokan pada serapan tanpa substansi, maka itu bukan keberhasilan, melainkan kamuflase statistik.
Catatan Redaksi:
Berita ini merupakan hasil telaah terhadap dokumen publik dan ditulis sebagai bagian dari kontrol sosial. Hak jawab dan klarifikasi terbuka luas bagi pihak Pemkab Muratara atau SKPD terkait melalui email redaksi@aspirasipublik.id atau kontak resmi 081379437128.
Komentar