Aspirasi Publik
Lubuklinggau, 15/5 2025 – Di tengah upaya penataan kepegawaian non-ASN, sebanyak 16 Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di lingkungan Pemerintah Kota Lubuklinggau justru terindikasi menganggarkan dan merealisasikan belanja tenaga honorer secara tidak sah.
Ironisnya, praktik ini terjadi meski Surat Edaran (SE) resmi telah diterbitkan oleh Wali Kota yang melarang seluruh pengadaan tenaga honorer sebelum ada regulasi teknis lebih lanjut.
Dalam SE Wali Kota Nomor 800/0821/BKPSDM/2024 tertanggal 21 Februari 2024, seluruh kepala unit kerja dilarang mengangkat tenaga honorer dan sejenisnya sampai terbitnya Peraturan Wali Kota (Perwali) tentang penataan pegawai non-ASN.
Pengecualian hanya diberlakukan untuk tenaga kebersihan, sopir, dan petugas keamanan melalui mekanisme outsourcing resmi dan dengan persetujuan Pejabat Pembina Kepegawaian.
Fakta sebaliknya, hingga 31 Oktober 2024, Pemkot telah merealisasikan belanja jasa sebesar Rp62,9 miliar, di mana sebagian di antaranya digunakan untuk membayar tenaga honorer yang pengadaannya tidak sesuai ketentuan.
Laporan audit resmi negara,.terjadi praktik belanja jasa tenaga honorer di 16 SKPD tanpa dasar regulasi yang sah sebagaimana diamanatkan oleh SE Wali Kota.
Muncul pertanyaan serius mengenai efektivitas kontrol internal pemerintahan kota serta dugaan adanya pembiaran oleh para pejabat struktural di bawah kendali Pj Wali Kota.
Fenomena ini mencerminkan adanya potensi pemborosan anggaran belanja daerah, di mana dana yang seharusnya dialokasikan untuk program prioritas pembangunan justru digunakan untuk membayar pegawai tidak resmi.
“Setiap tahunnya Pemkot kesulitan keuangan, bahkan harus menerbitkan SPH dan meminjam dari pihak ketiga. Tapi pengeluaran tidak prioritas seperti ini tetap berjalan,” ujar salah satu pemerhati kebijakan anggaran di Lubuklinggau.
Secara moral dan administratif, pelaksanaan belanja ilegal di tengah larangan formal dari pimpinan daerah mencerminkan pembangkangan birokratis yang serius.
Seharusnya, ketika SE diterbitkan oleh Wali Kota, seluruh pejabat teknis di bawahnya menjalankan instruksi tersebut secara konsisten.
Apakah ini sekadar kelalaian teknis atau justru ada kesengajaan kolektif untuk mempertahankan praktik lama yang tidak efisien? Pertanyaan ini layak ditelusuri lebih lanjut, termasuk oleh aparat pengawasan eksternal seperti DPRD dan APH.
Aspirasi Publik akan terus menelusuri lebih jauh data dan dokumen pertanggungjawaban anggaran belanja jasa honorer ini di 16 SKPD. Jika Anda memiliki informasi, dokumen, atau kesaksian, silakan hubungi kami secara anonim melalui kanal pengaduan yang tersedia.
Catatan Redaksi
Kami memberikan ruang hak jawab kepada setiap pihak yang merasa dirugikan atau tidak sesuai fakta dalam pemberitaan ini, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Silakan sampaikan hak jawab, klarifikasi, atau koreksi melalui email: redaksi@aspirasipublik.id atau WhatsApp ke: 081379437128.
Komentar