Lubuk Linggau – Di balik tumpukan Surat Pernyataan Hutang (SPH) senilai Rp190 miliar lebih, tersembunyi potensi pelanggaran hukum yang tidak bisa dianggap enteng. Publik mulai menyoroti tidak hanya sisi fiskal, tetapi juga dimensi pidana yang mungkin menyertai proses penerbitan SPD (Surat Penyediaan Dana) dan pelaksanaan kegiatan terkait SPH.
Berdasarkan informasi dari sejumlah sumber dengan akses ke proses anggaran, ditemukan adanya indikasi bahwa sebagian SPD diterbitkan tanpa dukungan kas yang tersedia, sebuah praktik yang bertentangan langsung dengan prinsip anggaran berbasis kas, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
“Jika SPD diterbitkan dalam kondisi kas kosong, lalu digunakan untuk menjalankan proyek, maka itu bukan hanya kelalaian teknis. Itu bisa masuk ke ranah penyalahgunaan wewenang, rekayasa anggaran, bahkan pengadaan fiktif,” ujar salah satu narasumber yang memahami prosedur penganggaran, meminta identitasnya dirahasiakan.
Desakan agar Wali Kota menggandeng Aparat Penegak Hukum (APH) pun semakin menguat. Banyak pihak menilai, pendekatan administratif semata tidak cukup untuk mengurai masalah yang sudah membusuk sejak hulunya. Langkah hukum dinilai sebagai satu-satunya cara untuk memisahkan antara kesalahan sistemik dan kesengajaan kriminal.
Dalam skema ini, janji Wali Kota untuk “membayar SPH” justru bisa menjadi jebakan politik jika tidak disertai dengan proses klarifikasi hukum yang menyeluruh. Masyarakat menuntut bukti nyata bahwa tidak ada pelanggaran yang ditutupi, apalagi dilindungi atas nama kontinuitas pemerintahan.
“SPH ini bisa jadi ladang basah jika tidak dibongkar sejak awal. Reformasi pengelolaan keuangan mustahil dilakukan jika pelaku pelanggaran tetap dibiarkan melenggang,” ujar narasumber lainnya dari kalangan pengawas internal daerah.
Menggandeng APH sejak awal bukan hanya soal penegakan hukum, tapi juga pernyataan sikap politik: bahwa pemerintahan baru tidak tunduk pada sistem lama yang koruptif, dan tidak akan menjadi pelindung bagi kepentingan gelap yang bersembunyi di balik tumpukan utang.
Jika hal ini tidak dilakukan, bukan tidak mungkin publik akan menganggap bahwa apa yang disebut sebagai perubahan hanyalah pengulangan, dengan aktor yang berbeda tapi logika kekuasaan yang sama.
Disclaimer: Artikel ini disusun berdasarkan informasi dari dokumen teknis dan wawancara dengan sejumlah narasumber anonim yang kompeten di bidang pengawasan anggaran dan hukum administrasi negara. Redaksi menjunjung tinggi prinsip praduga tak bersalah dan menjaga kerahasiaan identitas narasumber sesuai dengan standar jurnalistik investigatif.
Komentar