Aspirasi Publik
MUSI RAWAS UTARA – Dugaan penyimpangan anggaran dana BOS untuk sekolah swasta terus bergulir dan kini menyeret Sekretaris Daerah (Sekda) selaku Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD).
Sorotan tajam diarahkan pada fungsi TAPD yang diduga gagal menjalankan peran strategisnya dalam menjaga legalitas dan akurasi penyusunan anggaran.
Fakta mencengangkan mencuat dari dokumen Laporan Realisasi Anggaran Tahun 2023: sebanyak Rp821 juta dana BOS yang seharusnya disalurkan sebagai hibah kepada sekolah swasta malah dicatat sebagai Belanja Pegawai, Barang dan Jasa, serta Belanja Modal.
Ini jelas menyalahi Permendagri 77 Tahun 2020, khususnya Pasal 141 yang secara tegas menyatakan bahwa bantuan untuk sekolah swasta harus diklasifikasikan sebagai Belanja Hibah.
Lebih memprihatinkan, TAPD meloloskan dokumen anggaran bermasalah ini tanpa koreksi, bahkan hingga ke tahap pengesahan APBD.
Hal ini menunjukkan bahwa pengawasan dan sinkronisasi oleh TAPD tidak berjalan, atau lebih buruk lagi dibungkam oleh pembiaran sistemik.
“Kalau sudah sampai belanja salah klasifikasi lolos ke APBD, itu bukan sekadar kelalaian. TAPD dalam hal ini Sekda sebagai ketua punya andil langsung dan tidak bisa berlindung di balik staf teknis,” ujar salah satu mantan auditor APIP yang pernah menangani kasus serupa di daerah lain.
Tanpa NPHD (Naskah Perjanjian Hibah Daerah), dana BOS yang disalurkan ke sekolah swasta tidak memiliki dasar hukum yang sah dan berpotensi menjadi temuan serius.
Bahkan jika dikaji lebih dalam, kondisi ini membuka ruang korupsi terselubung, karena penggunaan dana menjadi tidak terlacak dan di luar mekanisme pelaporan hibah.
Sebagai Ketua TAPD, Sekda memiliki tanggung jawab utama dalam memastikan:
- Setiap belanja daerah sesuai dengan klasifikasi peraturan,
- Proses penyusunan RKA/DPA mengacu pada ketentuan teknis,
- Dan tidak ada penyimpangan dalam pengelolaan anggaran publik.
Kegagalan TAPD dalam mengawal klasifikasi belanja dana BOS ini adalah cacat fungsi yang tidak bisa dimaafkan.
Sekda sebagai pemimpin tim, harus dimintai pertanggungjawaban administratif, bahkan hukum, jika ditemukan bahwa kesalahan ini disengaja atau diabaikan dengan sadar.
“Jika Sekda tahu dan membiarkan, maka itu pelanggaran berat. Jika tidak tahu, maka itu kelalaian fatal. Keduanya sama-sama membahayakan integritas keuangan daerah,” ungkap seorang pengamat kebijakan publik dari Sumatera Selatan.
Masyarakat kini menunggu langkah tegas dari;
- Inspektorat Daerah, untuk melakukan audit internal dan meminta pertanggungjawaban individu.
- Bupati Musi Rawas Utara, sebagai pengendali pemerintahan, untuk mengambil tindakan korektif terhadap pejabat yang lalai.
- Dan APH, jika terbukti ada potensi kerugian keuangan daerah.
TAPD yang seharusnya jadi benteng terakhir tata kelola anggaran justru ikut membiarkan pelanggaran ini, maka rusaknya sistem bukan lagi kemungkinan, tapi kenyataan.
Catatan Redaksi:
Berita ini disusun berdasarkan dokumen pertanggungjawaban anggaran dan hasil telaah regulasi yang berlaku. Apabila pihak terkait merasa ada yang kurang tepat, kami membuka ruang hak jawab dan klarifikasi sebagaimana diatur dalam UU Pers Nomor 40 Tahun 1999. hubungi Email@Aspirasipublik.id atau WA; 081379437128
Komentar