Aspirasi Publik
Lubuk Linggau – Meski Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kota Lubuk Linggau telah mengeluarkan surat himbauan resmi yang melarang pungutan untuk acara perpisahan siswa, praktik “kesepakatan” sumbangan atau pemotongan tabungan siswa secara halus masih terjadi di lapangan. Surat Himbauan Nomor: 420/556/Disdikbud/I/2025 tertanggal 8 Mei 2025 itu ditujukan kepada seluruh kepala PAUD/TK/SD/SMP negeri maupun swasta di wilayah tersebut.
Surat yang ditandatangani oleh Kepala Disdikbud Lubuk Linggau, Firdaus Abky, menekankan agar kegiatan pelepasan siswa kelas akhir dilakukan secara sederhana, tidak membebani orang tua, dan tanpa pungutan dalam bentuk apapun. Namun kenyataannya, tidak sedikit sekolah—terutama swasta—yang tetap menggelar acara perpisahan dengan dalih “kesepakatan bersama”, padahal di balik istilah tersebut sering tersembunyi unsur paksaan terselubung kepada orang tua.
“Inilah problem sekolah swasta. Disdikbud sudah menyampaikan jangan memberatkan orang tua. Pelepasan boleh, tapi yang sederhana,” ujar Sekretaris Disdikbud Kota Lubuk Linggau, Dr. Yulianti, M.Pd., saat dikonfirmasi.
Namun, pernyataan “harap ditaati” dan imbauan agar masyarakat melapor jika keberatan, tak cukup untuk meredam tekanan sistematis kepada orang tua. Yang dibutuhkan publik bukanlah anjuran moral semata, tetapi sanksi administratif yang tegas bagi sekolah—negeri maupun swasta—yang melanggar aturan ini. Tanpa sanksi nyata, himbauan hanya menjadi formalitas tanpa daya paksa, yang mudah diabaikan oleh pihak sekolah dengan dalih “sudah disetujui komite” atau “hasil musyawarah wali murid”.
Dasar Hukum Larangan Pungutan di Sekolah
- Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah
– Pasal 10 ayat (1) menyebutkan bahwa komite sekolah tidak boleh melakukan pungutan kepada peserta didik atau orang tua/walinya.
– Ayat (2) menyatakan bahwa sekolah hanya boleh menerima sumbangan yang bersifat sukarela, tidak mengikat, dan tidak memaksa. - Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan
– Pasal 9 ayat (1) menyebutkan bahwa satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dilarang memungut biaya kepada peserta didik.
– Pasal 11 menegaskan bahwa pungutan hanya diperbolehkan pada sekolah swasta, dengan ketentuan tidak memberatkan dan harus mendapat persetujuan dari komite sekolah dan tidak boleh bersifat wajib. - Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
– Pasal 34 ayat (2): Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
– Pelanggaran terhadap prinsip ini dapat dianggap sebagai pelanggaran administratif oleh institusi pendidikan.
Pentingnya Sanksi Tegas
Lemahnya pengawasan dan minimnya tindakan nyata memperkuat praktik normalisasi pungutan dengan alasan seremoni pelepasan siswa. Tak jarang, sekolah tetap menyelenggarakan acara meriah lengkap dengan toga, sewa gedung, konsumsi, bahkan hiburan, lalu biayanya dibebankan ke orang tua melalui mekanisme tabungan atau sumbangan “sukarela” yang pada praktiknya tidak bisa ditolak.
Disdikbud memang membuka kanal aduan masyarakat dan menjanjikan akan memanggil kepala sekolah jika ada laporan keberatan. Namun, lagi-lagi, reaksi bersifat reaktif dan tidak disertai regulasi sanksi tertulis yang mengikat.
Dalam situasi ini, peran pengawasan pemerintah daerah seharusnya ditingkatkan dan dibarengi dengan ketentuan tegas: sekolah yang terbukti melanggar tidak hanya dipanggil, tetapi dikenai sanksi administratif hingga pencabutan izin operasional untuk pelanggaran berulang.
Jika tidak, setiap tahun orang tua akan terus menjadi korban pungutan terselubung atas nama “tradisi pelepasan”, sementara ketimpangan ekonomi keluarga murid diabaikan oleh sistem yang seharusnya menjamin pendidikan tanpa beban.
Komentar