Dilansir dari InDepthNews.id
Kronologi Kasus
Suwarma, warga Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara) sekaligus peserta aktif BPJS Kelas II, dilarikan ke RSUD Prof. Dr. H.M. Chatib Quzwain, Sarolangun, Jambi, pada Rabu (18/09).
Alih-alih mendapat perawatan yang memadai, pasien justru mengalami perlakuan membingungkan. Hari kedua dirawat, ia dipindahkan dengan alasan ruangannya akan diubah menjadi kelas III. Namun, sehari setelahnya, Suwarma kembali ditempatkan ke ruang yang sama.
Keluarga yang meminta penjelasan tidak mendapatkan jawaban profesional. Sebaliknya, mereka menghadapi bentakan dan perlakuan kasar secara verbal dari pihak rumah sakit.
Pemaksaan Pulang Pasien
Puncaknya terjadi pada Sabtu (27/09). Tanpa tindakan medis apapun, pihak RS memindahkan pasien ke luar ruangan. Saat itu keluarga ditekan untuk menandatangani surat pemulangan pasien atas permintaan sendiri.
“Kalau tidak tanda tangan, pasien tidak akan ditangani lagi,” ungkap salah seorang keluarga, menirukan ucapan petugas.
Karena tidak ingin terjadi keributan di ruang perawatan yang bisa mengganggu pasien lain, keluarga akhirnya menyerah. Suwarma dibawa pulang hanya dengan sebotol infus yang masih terpasang—tanpa instruksi medis atau prosedur pelepasan alat.
Kondisi Pasien Memburuk
Setiba di rumah, kondisi pasien memburuk. Ia mengalami lemas, mual, dan kehilangan kesempatan mendapat perawatan medis yang seharusnya menjadi haknya sebagai peserta BPJS. Hingga berita ini diturunkan, pihak RSUD Chatib Quzwain belum memberikan klarifikasi resmi terkait peristiwa ini.
Pelanggaran Prosedur?
Praktik “pemulangan paksa” dengan dalih atas permintaan sendiri kerap digunakan rumah sakit untuk menghindari tanggung jawab. Padahal, menurut regulasi BPJS dan Undang-Undang Kesehatan, rumah sakit wajib memberikan pelayanan darurat dan tidak boleh menolak pasien hanya karena alasan administratif.
Apa yang dialami Suwarma setidaknya mengindikasikan:
1. Pelanggaran hak pasien BPJS yang dijamin oleh negara.
2. Penyalahgunaan administrasi rumah sakit dengan memaksa keluarga menandatangani surat yang tidak sesuai keadaan sebenarnya.
3. Kelalaian medis karena pasien dipulangkan dalam kondisi masih terpasang infus tanpa instruksi jelas.
Pertanyaan Publik
Kasus ini menambah catatan kelam pelayanan rumah sakit daerah. Pertanyaan besar kini menggantung:
Sampai kapan hak pasien BPJS dikesampingkan?
Siapa yang bertanggung jawab atas keputusan “pemulangan paksa” ini?
Apakah Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan akan membiarkan praktik serupa terus terjadi?
Tanpa evaluasi serius, kasus Suwarma bisa menjadi preseden buruk: nyawa pasien dipertaruhkan hanya karena rumah sakit gagal menjalankan kewajiban dasarnya. ××

Komentar