Lubuk Linggau – Skandal pengelolaan anggaran kembali menghantam Pemerintah Kota Lubuk Linggau. Berdasarkan hasil audit dan Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK) 2023–2024, ditemukan praktik penggunaan dana transfer pusat yang dibatasi peruntukannya (earmarked) untuk membiayai belanja rutin daerah.
Nilainya tidak main-main, selama dua tahun anggaran, jumlah yang dipakai salah peruntukan mencapai Rp27,48 miliar.
Dalam laporan per 31 Desember 2024, BPK mencatat saldo kas daerah tidak mencerminkan kondisi sebenarnya. Sebesar Rp13,103 miliar dana yang seharusnya hanya bisa digunakan untuk program spesifik justru dipakai untuk belanja rutin, antara lain:
1. Pembayaran BBM dan honor PHL,
2. Pelunasan utang BPJS Kesehatan,
3. Insentif Ketua RT, listrik dan internet,
4. Honor jaga malam serta cleaning service, hingga ganti uang kartu kredit Pemda.
Adapun rinciannya:
1. Sisa DAU Spesific Grant 2024 Rp7,98 miliar,
2. Sisa DBH Sawit Rp95,7 juta,
3. Sisa DAK Fisik Rp47 juta,
4. Sisa DAK Non Fisik Rp4,66 miliar,
5. Sisa Dana Insentif Fiskal Rp305 juta.
Kasus serupa juga terjadi pada TA 2023, dengan nilai lebih besar yaitu Rp14,38 miliar dana terikat ikut dipakai menutup belanja APBD murni.
Temuan ini menunjukkan pola yang berulang setiap kali APBD murni defisit, dana terikat yang semestinya hanya dipakai untuk pendidikan, kesehatan, infrastruktur, atau prioritas pusat, justru “dipinjamkan” untuk belanja lain.
Padahal menurut regulasi, dana earmarked tidak boleh digeser tanpa persetujuan pemerintah pusat. Artinya, penggunaan di luar peruntukan ini masuk kategori pelanggaran hukum pengelolaan keuangan negara.
Dampaknya bukan sekadar soal administrasi. Program-program yang seharusnya dibiayai dari DAU, DAK, DBH, dan Insentif Fiskal menjadi terganggu, bahkan tidak terlaksana. Publik kehilangan haknya, dan daerah menanggung kerugian negara nyata.
Seorang pemerhati kebijakan publik menegaskan: “Kerugian negara timbul saat uang digunakan tidak sesuai peruntukan. Mengembalikan lewat APBD tahun berikutnya tidak menghapus tindak pidana.”
Fakta penting, penyalahgunaan ini berlangsung pada masa kepemimpinan Penjabat (Pj) Wali Kota, yang memegang penuh kendali APBD sebelum terpilihnya Wali Kota definitif. Secara hukum, Pj adalah pengguna anggaran tertinggi, sehingga pertanggungjawaban melekat pada dirinya.
Dengan nilai yang mencapai Rp27,4 miliar dalam dua tahun, publik menilai kasus ini tidak bisa dianggap sepele. Sorotan kini mengarah pada aparat penegak hukum (APH) untuk menindaklanjuti temuan BPK tersebut, bukan hanya berhenti pada catatan administrasi.
Disclaimer:
Berita ini disusun berdasarkan hasil audit BPK, dokumen resmi CaLK Pemkot Lubuk Linggau, serta keterangan pihak terkait. Apabila terdapat pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan ini, redaksi membuka ruang hak jawab sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pers.
Komentar