Lubuklinggau – Di atas kertas, fasum Perumahan Harapan Jaya sudah diserahkan ke Pemerintah Kota Lubuklinggau melalui BAST No: BA/14/DISPERAKIM/XI/2022 yang dikeluarkan oleh Dinas Perumahan dan Permukiman (Disperkim) Kota Lubuk linggau.
Namun faktanya, lahan yang seharusnya menjadi aset publik itu tak tercatat dalam Kartu Inventaris Barang (KIB A) dan tak memiliki sertifikat resmi atas nama Pemkot.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan tajam: mengapa Disperkim sebagai leading sector tidak segera menuntaskan proses pencatatan dan sertifikasi aset? Apakah ini sekadar kelalaian administratif atau ada permainan senyap yang menguntungkan pihak pengembang dan merugikan daerah miliaran rupiah?
BAST yang diterbitkan Disperkim seharusnya menjadi penegasan bahwa tanah fasum telah resmi berpindah ke tangan Pemkot. Namun tanpa tindak lanjut pencatatan di KIB A dan penerbitan sertifikat, dokumen tersebut hanya menjadi formalitas.
“BAST itu cuma kertas. Faktanya pengembang masih punya ruang kendali atas tanah itu karena Pemkot tak punya kekuatan hukum,” kata seorang sumber yang memahami proses hibah fasum di Lubuklinggau.
Akibatnya, aset publik ini terancam diklaim kembali atau dijual ulang, sementara Pemkot kehilangan pegangan hukum untuk melindunginya.
Penelusuran mengungkap pola yang terjadi di beberapa perumahan lainnya:
1. Serah terima hanya sebatas administrasi, tanpa proses balik nama yang tegas.
2. Pengaplingan ulang diam-diam, mengurangi luas fasum yang semestinya untuk warga.
3. Minimnya pengawasan Disperkim, yang membiarkan status lahan menggantung tanpa tindakan cepat.
Dampaknya jelas, Pemkot berpotensi kehilangan aset, memaksa anggaran daerah keluar untuk membeli ulang lahan fasum, sementara fasilitas umum yang dijanjikan kepada warga tak pernah terwujud.
Rapelwal Pengaplingan Tanah: Penertiban atau Legalisasi Penyimpangan?
Kini, muncul rencana penyusunan Peraturan Walikota (Rapelwal) Pengaplingan Tanah yang juga berada di bawah koordinasi Disperkim. Sejumlah pengamat menilai kebijakan ini bisa jadi jalan pintas untuk menutup jejak kehilangan fasum:
Pemetaan ulang dilakukan tanpa audit dan sertifikasi, berpotensi mengurangi hak publik secara legal.
Pengembang yang sempat mengurangi luas fasum dapat terbebas dari tanggung jawab awalnya.
Pemkot berisiko menghadapi temuan BPK karena lalai mengamankan aset sebelum membuat regulasi baru.
“Jika Rapelwal ini lahir tanpa audit mendalam, maka ini bukan penataan aset, tapi pemutihan,” ujar seorang pemerhati kebijakan publik.
Potensi kerugian daerah tidak hanya dalam bentuk nilai lahan yang hilang, tetapi juga:
1. Biaya sosial karena warga kehilangan hak atas fasilitas publik.
2. Double cost, Pemkot harus mengeluarkan anggaran baru untuk pembebasan lahan yang seharusnya gratis.
3. Citra buruk pengelolaan aset daerah yang berulang setiap tahun.
Aktivis dan warga mendesak Disperkim sebagai penanggung jawab agar segera:
1. Menuntaskan sertifikasi fasum Perumahan Harapan Jaya.
2. Membuka dokumen Rapelwal untuk diawasi publik.
3. Menindak tegas pengembang yang menahan atau memanipulasi aset publik.
Jika dibiarkan berlarut, Lubuklinggau terancam kehilangan kekayaan daerahnya secara perlahan, sementara aturan yang ada justru berpotensi menjadi tameng bagi modus lama yang merugikan warga.
Komentar