Referensinews.id – Bantuan hibah kepada pihak ketiga di Dinas Ketahanan Pangan (DKP) Kabupaten Musirawas Utara (Muratara) tahun 2017. Tidak sesuai dengan tujuan, belum memenuhi prinsip akuntabel sehingga berpotensi bantuan digunakan tidak sesuai dengan tujuan.
Baca : Hibah Dinas Ketahanan Pangan Muratara Tidak Tepat Sasaran
Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Provinsi Sumatera selatan menyatakan penyebabnya karena Kepala DKP Muratara tidak mematuhi ketentuan yang berlaku. Selasa (17/9).
Baca : Hibah Tanpa NPHD Modus Korupsi Pemberi Hibah
Bantuan hibah kepada pihak ketiga sebesar Rp. 172 juta, dimana salah satunya adalah bantuan berupa mesin penggiling ikan dan perlengkapannya.
Baca Modus Oknum Korupsi Hibah Muratara Tanpa NPHD
Kepala Inspektorat Muratara, Sudartoni, saat dimintakan keterangannya mengatakan “beri Inspektorat waktu untuk menelusuri nya terlebih dahulu” terkait penyelesaian tindak lanjut temuan BPK tahun 2017.
Kepala DKP yang saat ini menjabat Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Muratara, Titin Martini, mengatakan “temuan BPK sudah diselesaikan”.
Aktivis dan LSM wilayah MLM, Febri RB, dalam analisisnya, mengatakan adanya penyebab keadaan dan tanggung jawab pejabat terkait persoalan hibah yang disebutkan dalam LHP BPK “Kepala DKP tidak mematuhi ketentuan yang berlaku”.
Kata “tidak mematuhi” menurut Febri, bisa saja kesalahan administrasi atau juga dapat mengandung makna adanya unsur perbuatan melawan hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.
Baca Modus Oknum Korupsi Hibah Muratara Tanpa NPHD
Selanjutnya diuraikan juga pada LHP BPK bahwa pemberian hibah atau bantuan kepada pihak ketiga belum memenuhi prinsip akuntabel sehingga “berpotensi” bantuan digunakan tidak sesuai dengan tujuan.
Kembali dikatakan Febri, kata “berpotensi bantuan digunakan tidak sesuai dengan tujuan”. Pejabat negara harus hati-hati dan tidak selalu dapat berlindung dibawah hukum administrasi negara jika melakukan kesalahan administrasi.
“Ranah hukum pidana bisa menjerat jika kesalahan itu menimbulkan kerugian negara dan memberikan keuntungan, bagi pejabat maupun orang lain”, katanya.
Lanjut Febri, dalam pengelolaan ke uangan negara, sejak korupsi menjadi kejahatan luar biasa (Extraordinary Crime) maka wajib diterapkan (penegakan) hukum luar biasa (Extraordinary Law).
“Contohnya UU 17/2003 tentang Keuangan Negara. Penegakan hukum dalam proses pengadaan barang/jasa, sanksi pidana dipandang sebagai solusi yang cukup efektif menanggulangi masalah kejahatan korupsi”, sebut nya.
Sambungnya, dalam UU 17/2003 BAB IX disebutkan dengan jelas Ketentuan Pidana, Sanksi Administratif, Dan Ganti Rugi. BAB IX pasal 34 ayat 1, 2 dan 3 dapat disimpulkan sanksi pidana lebih utama dibanding sanksi administratif atau perdata, pungkasnya. (RN)